a. Pengertian kader
Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah kesehatan perorangan maupun masyarakat serta untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan (WHO : 2004, hal.x).
Menurut Gunawan (2008) memberikan definisi tentang kader kesehatan dinamakan juga promoter keehatan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dan dari masyarakat yang bertugas untuk mengembangkan masyarakat. Sedangkan menurut Direktorat Bina Peran Serta masyarakat Depkes RI (1999) memberikan batasan bahwa “ kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditunjuk oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela”.
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kader Desa Dalam Berperan Serta
Faktor-faktor yang mempengaruhi kader desa dalam melaksanakan perannya menurut (Siswanto: 2002, hal. 6) adalah sebagai berikut:
a. Umur.
Umur / usia merupakan masa perjalanan hidup seseorang. Usia seseorang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan berdasarkan kematangan berfikir yang dilandasi oleh pengalaman.
Kader dengan usia produktif merupakan faktor penunjang terpenting dalam berperan serta terhadap kegiatan, karena kematangan berfikir ingatan dan pemahaman terhadap suatu objek masih optimal. Kader yang terlalu muda / tua kestabilan emosi belum terbentuk atau pada usia lanjut adanya degenerasi berdampak pada ingatan maupun pemahaman sehingga peran serta terhadap kegiatan tidak dapat optimal.
Berkaitan dengan peran serta kader maka dengan umur yang semakin tua, produktivitas dan peran serta kader akan cenderung meningkat. Dengan asumsi bahwa tingkat kedewasaan teknis dan psikologis seseorang dapat dilihat bahwa semakin tua umur seseorang akan semakin terampil dalam melaksanakan tugas, semakin kecil tingkat kesalahannya dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal itu terjadi karena salah satu faktor kelebihan manusia dari makhluk lainnya adalah kemampuan belajar dari pengalaman, terutama pengalaman yang berakhir pada kesalahan (Efendi: 2008).
Seseorang yang telah matang dalam tugas perkembangan akan menjalankan perannya sesuai yang ada di masyarakat, serta kondisi psikologis lebih bijaksana dalam menghadapi segala persolan maka peran yang diemban pada masa-masa ini akan terlaksana dengan baik karena matangnya berbagai pertimbangan sebagai dasar pengambilan keputusan yaitu peran serta. (Azwar, 1995).
b. Lama jadi kader/masa kerja.
Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Perjalanan waktu yang telah ditempuh oleh kader mempunyai kelebihan khusus dibandingkan dengan kader pemula. Makin lama menjadi kader pengalaman yang dimiliki semakin banyak sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk bertindak / mengambil keputusan. Sebaliknya kader pemula belum memiliki banyak pengalaman serta asing dan ragu-ragu. Kondisi ini akan menghambat peran sertanya dalam suatu kegiatan.
Dari sisi lain dengan masa kerja yang lama umur kader juga semakin tua. Pada usia tua terjadi proses degeneratif yang berdampak pada kemampuan dan peran sertanya sebagai kader. Perasaan bosan dengan pekerjaan yang telah lama dilakukan juga memungkinkan menurunnya produktivitas dan peran serta kader (Widagdo dan Husodo, 2009).
Masa kerja berkaitan dengan peran seseorang sesuai tugasnya di masyarakat. Artinya, ada hubungan antara peran serta seseorang dengan masa kerja dengan asumsi bahwa semakin lama seseorang bekerja dalam organisasi semakin tinggi pula peran sertanya dalam organisasi tersebut. Hal itu terjadi karena ia semakin berpengalaman dan meningkatkan keterampilannya yang dipercayakan kepadanya (Efendi: 2008)
c. Pendidikan Tambahan .
Melalui pendidikan tambahan kader akan memiliki wawasan yang lebih luas dibanding yang belum memiliki pendidikan tambahan utamanya yang berkaitan dengan tugasnya.
Kader yang pernah mendapatkan pendidikan tambahan perbendaharaan pengetahuan akan lebih tinggi yang merupakan dasar terbentuknya sikap selanjutnya diaplikasikan dalam peran serta. Sebaliknya kader yang tidak / belum pernah mendapat pendidikan tambahan memiliki keterlambatan wawasan sehingga karena keterbatasan tersebut peran serta kader tidak optimal.
d. Pengetahuan
Dengan pengetahuan seseorang akan dapat mengingat kembali tentang sesuatu yang dipelajari sebelumnya, sehingga dapat memperbaiki tindakan yang akan dilakukan. Kader dengan pengetahuan yang tinggi tentang perannya merupakan dasar terwujudnya peranserta yang diaplikasikan dalam tindakan nyata. Sedangkan kader dengan tingkat pengetahuan yang rendah tentang perannya akan menghambat peransertanya.
Menurut Anita (2008) informasi yang cukup dan diterima oleh sesorang dapat menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan yang tinggi sehingga dapat mengaplikasikan pengetahuannya tersebut sesuai peran sertanya di masyarakat (http://one.indoskripsi.com).
Pengetahuan atau kognitif menurut Notoatmojo (1997) mencakup semua tingkatan yaitu; tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tingkatan dalam pengetahuan ini akan memberi gambaran sejauhmana tingkat pengetahuan masyarakat tersebut. Ini berarti semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat akan semakin mudah dalam menyelesaikan suatu masalah yang ada di sekitarnya.
Pengetahuan yang adekuat menunjang terwujudnya peran serta yang baik. Semakin tinggi tingkat pengetahuan yang berkaitan dengan peranya sebagai kader, semakin luas pula pemahaman terhadap masalah yang mungkin timbul sebagai dampak dari ketidakaktifannya sehingga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, termasuk peran sertanya dalam memberikan penyuluhan. Setiap langkah dan tindakan yang akan dilakukan selalu dipertimbangkan dampak positif maupun negatifnya. Sehingga terwujud tingkat peran serta karena kesadaran (DepKes RI, 1991).
Menurut Bloom yang dikutip oleh Notoatmojo (1997) mengatakan agar seseorang dapat melakukan suatu prosedur dengan baik harus sudah ada pada tingkat pengetahuan aplikasi. Aplikasi ini diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu situasi atau kondisi yang sebenarnya. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan pengetahuan yang baik seseorang akan mampu mengaplikasikan materi tentang kesehatan yang didapatnya.
Menurut Midelbrook (1974) dalam Azwar (1995) menyatakan bahwa tidak adanya pengalaman atau pengetahuan sama sekali mengenai suatu obyek akan cenderung untuk membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut dan sebaliknya adanya pengetahuan atau pengalaman yang baik akan membentuk sikap yang positif dalam melaksanakan suatu aktifitas. Dengan demikian kader yang mempunyai pengetahuan yang baik akan mempunyai sikap yang baik dalam melaksanakan perannya dalam mensukseskan pelaksanaaan program kesehatan. Kader kesehatan dengan sikap dan pengetahuan yang baik akan melaksanakan pencegahan penyakit dengan sepenuh hati dan tanpa adanya unsur paksaan dari pihak lain, sehingga terbentuk keteraturan dalam melaksanakan suatu tindakan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Notoatmojo (1997) bahwa perilaku yang didasari oleh suatu pengetahuan yang baik akan berlangsung lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh suatu pengetahuan.
e. Pendidikan
Pada umumnya semakin tinggi pendidikan akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Pengetahuan itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat fakta, simbol, prosedur tehnik dan teori. Kader yang berpendidikan tinggi akan lebih mengetahui dan memahami perannya sedangkan kader dengan tingkat pemdidikan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan perannya.
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk bersikap dan berperan serta dalam pembangunan kesehatan (Notoatmojo, 1997).
Menurut Suwarno (1992) dalam Nursalam (2002) pendidikan menuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan dan peran sertanya. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi serta mengaplikasikannya, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai baru yang diperkenalkan.
Menurut John Dewey (1997) mengatakan bahwa melalui pendidikan seseorang akan mempunyai kecakapan, mental, dan emosional yang membantu seseorang untuk dapat berkembang mencapai tingkat kedewasaan. Dalam teori ini tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi semua aktifitas yang dilakukannya. Hal ini disebabkan karena dalam proses pendidikan terjadi perubahan kecakapan, mental, dan emosional ke arah tingkat kedewasaan yang lebih tinggi.
Kader dengan tingkat pendidikan yang rendah atau tidak lulus dalam pendidikan dasar akan sulit dalam menerima suatu informasi dalam mendapat suatu pengetahuan, berbeda dengan individu atau masyarakat dengan pendidikan yang tinggi, mereka lebih mudah menerima informasi yang ada melalui berbagai media. Untuk bisa menerima suatu informasi dibutuhkan keterampilan pendidikan dasar seperti membaca dan menulis. Masyarakat dengan pendidikan yang tinggi akan mampu menganalisa suatu keadaan disekitarnya sehingga apa yang dilakukannya sesuai dan tepat. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh John Dewey (1997) bahwa melalui pendidikan seseorang akan mempunyai kecakapan, mental dan emosional yang membantu seseorang untuk dapat berkembang mencapai tingkat kedewasaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin bertambah pula kecakapannya, baik secara intelektual maupun emosional serta semakin berkembang pula pola pikir yang dimilikinya.
Kader yang mempunyai pola pikir yang baik akan mudah beradaptasi pada situasi dan kondisi yang ada di lingkungannya untuk melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga masyarakat akan cepat tanggap akan perubahan yang akan dilakukannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari I.B Mantra yang dikutip oleh Notoatmodjo (1997) bahwa pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup dalam memotivasi dirinya berperan aktif dalam kegiatan yang menunjang kesehatannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan dalam bertindak untuk mencapai kondisi kesehatan yang optimal di masyarakat (Kuncoroningrat: 1997 dalam Nursalam: 2002).
f. Pekerjaan
Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Bekerja merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi kader akan mempunyai pengaruh terhadap kegiatan yang lain termasuk untuk berperan serta dalam kegiatan tertentu. Jika pekerjaan itu menuntut kader meninggalkan (jauh) dari tempat tinggal atau beban kerjanya terlalu tinggi akan menghambat dalam peran sertanya.
g. Pembinaan.
Pembinaan yang konsisten dari aparat terkait akan memberikan arah dan kejelasan serta rasa aman bagi kader untuk ber peran serta dalam suatu kegiatan. Melalui pembinaan, kesulitan / hambatan yang dimiliki oleh kader akan segera terselesaikan sehingga kader selalu memiliki semangat dan motivasi untuk berperan serta.
h. Sarana / Alat Peraga.
Alat peraga merupakan alat bantu penyuluhan yang berfungsi untuk membantu menyebarkan topik yang dibicarakan sehingga materi penyuluhan mudah diterima oleh sasaran. Sarana / alat peraga yang tersedia akan mendukung kader berperan serta melalui kegiatan penyuluhan karena kader akan dapat memiliki alat peraga yang sesuai dengan sasaran yang dihadapi. Terbatasnya alat peraga merupakan faktor penghambat baik bagi kader maupun sasaran karena tidak adanya variasi yang berdampak kebosanan.
i. Dukungan aparat setempat.
Kegiatan yang dilakukan oleh kader tidak akan berhasil secara optimal tanpa dukungan aparat setempat. Aparat setempat akan berperan dalam menggerakan motivasi kader, sehingga mereka merasa kegiatan tersebut adalah terorganisir yang menimbulkan rasa aman baik bagi sasaran maupun kader. Hambatan dalam suatu kegiatan dapat dimusyawarahkan oleh kader dengan aparat setempat sehingga kader merasa mendapat dukungan, pengayoman dalam berperan serta.
j. Penghargaan.
Penghargaan / reward secara tidak langsung akan meningkatkan peran serta kader dalam program kesehatan. Bentuk penghargaan sangat bervariasi tergantung dari situasi dan kondis, penghargaan merupakan faktor eksternal terjadinya motivasi kader untuk berperan serta lebih baik (Notoatmodjo, 1997).
Strategi yang berkaitan dengan partisipasi kader antara lain adalah pemberian insentif akan cukup termotivasikan oleh gaji atau upah yang memadai dan oleh rasa puas atas pekerjaan yang dilakukan dengan baik, karena rata-rata pendapatan masyarakat sangat rendah dan penting memberikan arti kehidupan baginya. Selain ganjaran-ganjaran financial, perlu juga mencari bentuk penghargaan lain atas usaha dan prestasi untuk memperkuat sikap-sikap dan perilaku yang diberdayakan (Winardi, 2004).
Terbentuknya motivasi merupakan dasar untuk pengambilan keputusan dalam berperan serta mengingat pembuatan keputusan merupakan suatu yang sistematis, proses bertahap, memilih berbagai alternatif dan membuat pilihan menjadi tindakan nyata yaitu peran serta (Russel: 2000 dalam Lusianah: 2008).
Sumber
Departemen Kesehatan RI. 1999 Partisifasi Masyarakat Dalam Bidang Kesehatan. Jakarta : Depkes RI, Direktorat Bina Peran Serta masyarakat.
Departemen Kesehatan RI. 1997. Pendekatan Kemasyarakatan. Jakarta : Depkes RI, Direktoran Bina Peran Serta Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI. 1997. Buku Paket Pelatihan Kader Kesehatan. Jakarta : Depkes RI, Pusat Promosi Kesehatan.
Dewey, John. 1997. Pengalaman Dan Pendidikan (John de Santo). Yogyakarta : Kepel Press bekerjasama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI dan Ford Foundation.
Lulu Anita. 2008. Hubungan Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Peran Dan Fungsinya Dalam Bidang Kesehatan Terhadap Peran Serta Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu. (Online), (http://one.indoskripsi.com, diakses 22 Nopember 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar