Jumat, 22 Januari 2010

Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi kronis yang menyerang hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Program Penanggulangan TBC, khususnya TBC Paru di Indonesia telah dimulai sejak diadakan Simposium Pemberantasan TBC Paru di Ciloto pada tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada tahun 2003, World Health Organitation (WHO) dalam Annual Report on TB Control menyatakan bahwa Indonesia merupakan penyumbang kasus TBC terbesar ketiga setelah Cina dan India (Depkes RI, 2005: ix dan WHO, 2005: 1)
Menurut data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan Survey Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN) tahun 2001, TBC merupakan penyebab kematian ketiga terbesar (9,4% total kematian) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. SKRTN (2001) mengungkapkan angka prevalensi TBC diperkirakan 800 per 100.000 penduduk yang didasarkan atas adanya gejala-gejala TBC tanpa dilakukan pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2005: ix dan WHO, 2005: 1)

Pada dekade 2000-an, TBC dinyatakan WHO sebagai reemerging disease. Hal ini disebabkan karena angka TBC yang pada dekade 90-an dinyatakan menurun, kembali meningkat. Khususnya di Indonesia, angka TBC tidak pernah turun, bahkan cenderung meningkat (Muttaqin, 2007: 79)
Menyusul digelarnya Kongres I TBC pada tanggal 18-19 November 2006 di Jakarta, dikemukakan fakta-fakta tentang TBC, antara lain:
1. Sekitar 10% pasien TBC di dunia adalah orang Indonesia (Data WHO, 2000).
2. Setiap 2,5 menit akan muncul satu penderita TBC baru di Indonesia (insiden TBC 110/100.000 penduduk pertahun, data survey nasional 2004).
3. Setiap 4 menit satu orang Indonesia akan meninggal karena TBC (Publikasi WHO, 2000).
4. Berdasarkan data terbaru (2004) maka jumlah pasien TBC menular di Jawa/Bali adalah 67/100.000 penduduk, di Sumatera 203/100.000 dan Kawasan Timur Indonesia 246/100.000.
5. Secara nasional, pada setiap 100.000 penduduk Indonesia ada 125 pasien TBC menular (Survey TBC Nasional, 2004).
6. Setiap detik ada satu orang terinfeksi TBC di dunia (WHO, 2005).
7. Jumlah seluruh pasien TBC di dunia adalah 8.810.000 orang setahunnya, di mana 3.897.000 diantaranya adalah TBC yang menular.
8. Setiap tahun di dunia ada 1.747.000 orang yang meninggal karena TBC.
9. Sedikitnya sepertiga penduduk dunia saat ini telah terinfeksi kuman TBC.
Sejarah pengobatan TBC pada manusia diawali pada tahun 1944 dengan ditemukannya Streptomisin sebagai Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pertama, sampai kemudian pada tahun 1949 ditemukan Asam Para Amino Salisilat (PAS) yang dapat mencegah terjadinya resistensi terhadap Streptomisin. Sejak itu pengobatan TBC selalu menggunakan dua jenis obat atau lebih. Kemudian pada tahun 1952 ditemukan Isoniazid (INH) yang menjadi komponen penting dalam pengobatan TBC karena sangat efektif, toksisitasnya rendah dan harganya murah. Pada tahun 1972 mulai digunakan Rifampisin sebagai paduan obat jangka pendek yang pemberiannya dikombinasi dengan Ethambutol agar waktu pengobatan dipersingkat menjadi 6 bulan atau separuh dari waktu pengobatan dengan Streptomisin yang masa pengobatannya 12 bulan, dengan efek terapi yang tidak berkurang (Girsang, 2002: 5).
Tahun 1993/1994 OAT untuk program penanggulangan TBC dikemas dalam bentuk blister kemasan harian yang disebut kombipak (paket kombinasi). Obat yang digunakan terdiri atas: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E) serta Streptomisin (S) yang sediannnya dalam bentuk injeksi. Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai strategi komprehensif yang digunakan dalam pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TBC, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat (Girsang, 2002: 5-6).
Salah satu permasalahan dalam Program Penanggulangan TBC adalah lamanya jangka waktu pengobatan yang harus dijalani penderita selama 6 sampai 8 bulan. OAT yang digunakan dalam Program Penanggulangan TBC saat ini dan disediakan secara gratis oleh pemerintah adalah paduan OAT yang disebut FDC (Fixed Dose Combination). FDC tersedia dalam beberapa kategori yaitu FDC Kategori 1 untuk penderita TBC baru, FDC Kategori 2 untuk penderita TBC kambuh atau gagal, FDC sisipan dan FDC anak. FDC Kategori 1 merupakan OAT yang paling banyak digunakan karena penderita TBC yang ditemukan dan diobati sebagian besar adalah tipe baru.
Penggunaan FDC di Indonesia diawali dengan uji coba di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1999 dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang diobati dengan FDC di 16 Puskesmas, tidak ada penderita yang menolak pengobatan dengan tablet FDC, hanya sekitar 10% yang mengeluh efek samping minor tetapi FDC tidak harus dihentikan dan hanya 1 penderita (0,6%) yang mendapat efek samping mayor di mana obat harus dihentikan. Hasil pengobatannya sama dengan kelompok kontrol yang diobati dengan kombipak yaitu 96% penderita dinyatakan sembuh (Depkes RI, 2004: 2)

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Pengertian
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah obat yang merupakan kombinasi beberapa jenis antibotik untuk pengobatan Tuberkulosis (TBC) atau disebut juga dengan istilah Tuberkulostatika (Tjay dan Rahardja, 2003: 148).
b. Paduan OAT di Indonesia
Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination (2004: 1) menjelaskan bahwa paduan OAT yang disediakan dan digunakan saat ini dalam bentuk paket disebut dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang merupakan tablet berisi kombinasi beberapa jenis OAT dengan dosis tetap. Kemajuan bidang farmakologi memungkinkan untuk membuat tablet kombinasi yang terdiri atas beberapa macam OAT tanpa mengganggu bio-availability obat tersebut.
Paduan OAT FDC di Indonesia terdiri atas: Kategori 1 (2HRZE/4HR3), Kategori 2 (2HRZES/1HRZE/5HR3E3), Sisipan (HRZE) dan paduan OAT FDC anak (2HRZ/4HR).
Penggunaan FDC dalam pengobatan TBC memberikan beberapa keuntungan seperti lebih aman, mudah pemberiannya, lebih nyaman untuk penderita karena menelan tablet yang lebih sedikit sehingga meningkatkan penerimaan dan kepatuhan berobat, dosis lebih sesuai dengan berat badan penderita serta pengelolaannya lebih mudah.
c. Prinsip pengobatan
Tujuan pengobatan Tuberkulosis sebagaimana disebutkan dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 37) adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan dan mencegah resistensi.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 38) menjelaskan bahwa OAT ditelan sebagai dosis tunggal dalam jumlah cukup dan tepat selama 6 sampai 8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.
Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita menelan obat setiap hari dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
Pengobatan tahap intensif berlangsung selama 2 sampai 3 bulan (8 sampai 12 minggu) di mana penderita menelan OAT setiap hari.
2) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama, berlangsung selama 4 sampai 5 bulan (16 sampai 20 minggu). Pada tahap lanjutan ini penderita menelan obat secara intermitten tiga kali seminggu.

d. Jenis dan dosis OAT
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 37-38) jenis dan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan saat ini terdiri atas:

1) Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid , dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.
2) Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu.
3) Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB.
4) Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kgBB.
5) Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk yang berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
Sediaan OAT INH, Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol dalam bentuk tablet dan diberikan per oral, sedangkan Streptomisin diberikan melalui injeksi intramuskuler.

Jenis-jenis tablet FDC untuk dewasa terdiri atas:
1) Tablet yang mengandung 4 macam obat dikenal sebagai tablet 4FDC. Setiap tablet mengandung: 75mg Isoniasid (INH), 150mg Rifampisin, 400mg Pirasinamid dan 275mg Etambutol.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
2) Tablet yang mengandung 2 macam obat dikenal sebagai tablet 2FDC. Setiap tablet mengandung: 150mg Isoniasid (INH) dan 150mg Rifampisin.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
Disamping itu, tersedia obat lain untuk melengkapi paduan obat kategori 2, yaitu:
1) Tablet etambutol @ 400mg
2) Streptomisin injeksi vial @ 750mg atau vial @ 1gr
3) Aquabidest.
Dasar Perhitungan Pemberian OAT FDC:
1) Kategori I
Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.
• Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.
Diberikan kepada: penderita baru TBC Paru BTA positif, penderita baru TBC Paru BTA negatif rontgen positif (ringan atau berat) dan penderita TBC Ekstra Paru (ringan atau berat).

Tabel 2.1 Dosis untuk Kategori I (2HRZE/4HR3)
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan 3 x Seminggu
Selama 56 Hari Selama 16 Minggu
30-37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38-54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55-70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC

2) Kategori II
Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif untuk tablet 4FDC: 3 bulan x 4 minggu x 7 hari = 84 dosis, untuk Streptomisin injeksi: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis
• Tahap lanjutan: 5 bulan x 4 minggu x 3 kali = 60 dosis
Diberikan kepada: penderita TBC BTA positif kambuh, gagal, dan yang berobat kembali setelah lalai (default) dengan BTA positif.

Tabel 2.2 Dosis untuk Kategori II (2HRZES/1HRZE/5HR3E3)
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan
Selama Selama 3 x Seminggu
56 Hari 28 Hari Selama 20 Minggu
30-37 kg 2 tab 4FDC + 2 tab 4FDC 2 tab 2 FDC +
500 mg Streptomisin inj 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4FDC + 3 tab 4FDC 3 tab 2 FDC +
750 mg Streptomisin inj 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4FDC + 4 tab 4FDC 4 tab 2 FDC +
1000 mg Streptomisin inj 4 tab Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4FDC + 5 tab 4FDC 5 tab 2 FDC +
1000 mg Streptomisin inj 5 tab Etambutol

3) OAT Sisipan
OAT sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada penderita BTA positif tidak terjadi konversi, maka diberikan obat sisipan 4FDC (HRZE) setiap hari selama 28 hari dengan jumlah tablet setiap kali menelan sama dengan sebelumnya.

4) Kategori Anak
Diberikan pada penderita TBC anak, yaitu yang berusia 0 sampai 14 tahun. Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis
Obat yang digunakan adalah tablet 3FDC yang mengandung 30 mg Isoniasid (INH), 60 mg Rifampisin, 150 mg Pirasinamid.
• Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 7 hari = 112 dosis
Obat yang digunakan adalah tablet 2FDC yang mengandung 30 mg Isoniasid (INH), 600 mg Rifampisin.

Tabel 2.3 Dosis untuk Kategori Anak (2HRZ/4HR)
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan Tiap Hari Tiap Hari
Selama 2 Bulan Selama 4 Bulan
≤ 7 kg 1 tablet 3 FDC 1 tablet 2 FDC
8-9 kg 1,5 tablet 3 FDC 1,5 tablet 2 FDC
10-14 kg 2 tablet 3 FDC 2 tablet 2 FDC
15-19 kg 3 tablet 3 FDC 3 tablet 2 FDC
20-24 kg 4 tablet 3 FDC 4 tablet 2 FDC
25-29 kg 5 tablet 3 FDC 5 tablet 2 FDC


e. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 42-43), pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada penderita TBC dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada:
1) Akhir tahap intensif.
2) Sebulan sebelum akhir pengobatan.
3) Akhir pengobatan
Hasil pengobatan seorang penderita TBC seperti dijelaskan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2005: 45-47) dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (tansfer out), defaulter (lalai)/DO dan gagal.
f. Pengawas menelan obat
Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat atau PMO seperti seseorang yang dikenal, dipercaya, disetujui, tinggal dekat penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela, bisa dari petugas kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, guru atau anggota keluarga terdekat (Depkes RI, 2005: 48-49).
Tugas seorang PMO adalah :
1) Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

2. Efek samping obat
a. Pengertian
Efek samping biasanya dianggap sebagai gejala-gejala yang muncul akibat pemberian obat dan tidak berhubungan dengan kerja obat yang dimaksud atau diinginkan. Meskipun tidak diharapkan dan mengganggu, efek samping cukup sering terjadi pada dosis biasa sehingga pasien harus waspada mengenai kemungkinan terjadinya dan bagaimana menghadapinya (Deglin dan Vallerand, 2005: xxv).
Menurut Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (2007: 2) efek samping obat adalah setiap efek dari suatu pengobatan yang tidak dikehendaki, merugikan atau membahayakan pasien. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar dapat diketahui.
Dampak negatif masalah efek samping obat dalam klinik antara lain dapat menimbulkan keluhan atau penyakit baru karena obat, meningkatkan biaya pengobatan, mengurangi kepatuhan berobat serta meningkatkan potensi kegagalan pengobatan (Bagian Farmakologi Klinik FK UGM, 2007: 2).
b. Klasifikasi
Efek samping obat dapat dikelompokkan atau diklasifikasikan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi klinis dan sebagainya.
Bagian Farmakologi FK UGM (2007: 3) membagi jenis efek samping obat sebagai berikut:
1) Efek samping yang dapat diperkirakan:
- Aksi farmakologik yang berlebihan.
- Respon karena penghentian obat.
- Efek samping yang tidak berupa efek farmakologi utama.
2) Efek samping yang tidak dapat diperkirakan:
- Reaksi alergi.
- Reaksi karena faktor genetik.
- Reaksi idiosinkratik.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek samping obat
Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang penulis dapatkan maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap munculnya efek samping obat terbagi atas tiga faktor, yaitu: faktor karakteristik obat, faktor karakteristik pasien/klien dan faktor cara pemberian obat (Siregar, 2005: 242-244 serta Potter dan Perry, 2005: 1000-1020).
1) Faktor karakteristik obat yang mempengaruhi timbulnya efek samping obat terdiri atas: dosis, jumlah, efek farmakologi dan toksisitas.
Dosis dan jumlah obat yang diberikan, untuk sebagian besar menentukan apakah seorang pasien akan mengalami efek samping atau tidak. Dosis yang berlebihan pada umumnya akan menimbulkan berbagai efek samping pemakaian obat. Besarnya dosis dan jumlah obat juga akan menentukan bagaimana obat tersebut akan diabsorpsi, didistribusi, dimetabolisme, dan diekskresikan oleh tubuh.
Obat-obat dengan multi efek farmakologi juga akan lebih cenderung menyebabkan reaksi merugikan dari suatu obat (Siregar, 2005: 242-243 serta Potter dan Perry, 2005: 999).
2) Faktor karakteristik pasien yang mempengaruhi timbulnya efek samping obat meliputi: umur, jenis kelamin, genetik, kepatuhan dengan regimen obat, penyakit, status nutrisi, stress fisik dan emosional.
Umur adalah suatu faktor penentu yang penting dan berdampak langsung terhadap kerja obat, oleh karena itu dapat mempengaruhi timbulnya efek samping. Bayi tidak memiliki banyak enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat normal. Perkembangan sistem enzim hati yang belum sempurna, konsentrasi darah lebih tinggi dan waktu paruh dari obat lebih lama pada bayi dari pada orang dewasa. Sejumlah perubahan fisiologis yang menyertai penuaan mempengaruhi respon terhadap terapi obat. Orang tua diketahui sering menderita efek samping yang lebih tinggi daripada kelompok umur yang lebih muda (Siregar, 2005: 243 serta Potter dan Perry, 2005: 1000).
Sedangkan perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita dapat mempengaruhi timbulnya efek samping dikaitkan dengan perbedaan hormonal yang mengubah metabolisme obat tertentu. Hormon dan obat saling bersaing dalam biotransformasi karena kedua senyawa tersebut terurai dalam proses metabolik yang sama (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Susunan genetik juga dapat mempengaruhi biotransformasi obat. Pola metabolik dalam keluarga seringkali sama. Faktor genetik menentukan apakah enzim yang terbentuk secara alami ada untuk membantu penguraian obat. Akibatnya anggota keluarga sensitif terhadap suatu obat (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Kepatuhan dengan regimen obat berkaitan dengan ketidakmampuan atau ketidakmauan pasien menggunakan obat dengan tepat juga merupakan suatu faktor utama terhadap timbulnya efek samping obat. Kepatuhan pasien yang buruk terhadap regimen terapi obat dapat mengakibatkan penggunaan suatu dosis obat yang berlebihan atau kurang, atau penggunaan obat di luar waktu yang sewajarnya yang akhirnya menimbulkan efek obat yang tidak diinginkan (Siregar, 2005: 243).
Penyakit dapat mengubah fungsi normal tubuh, dan sebagai akibatnya farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang dikonsumsi juga akan berubah. Setiap penyakit yang merusak fungsi organ yang bertanggung jawab terhadap farmakokinetik normal (seperti: perubahan integritas kulit, penurunan absorpsi dan motilitas saluran cerna, kerusakan fungsi hati dan ginjal) juga akan merusak kerja obat, mengurangi efektifitas obat dan atau membuat pasien berisiko mengalami efek obat yang merugikan (Siregar, 2005: 243-244 serta Potter dan Perry, 2005: 1000).
Status nutrisi yang buruk mempengaruhi sel sehingga tidak dapat berfungsi dengan normal yang kemudian mengakibatkan biotranformasi tidak berlangsung. Seperti semua fungsi tubuh, metabolisme obat bergantung pada nutrisi yang adekuat untuk membentuk enzim dan protein. Kebanyakan obat berikatan dengan protein sebelum didistribusikan ke tempat kerja obat (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Stress fisik dan emosional yang berat akan memicu respon hormonal yang pada akhirnya mengganggu metabolisme obat pada klien. Radiasi ion, pajanan panas dan dingin adalah contoh stressor fisik yang dapat mempengaruhi respon terhadap obat. Demikian juga dengan sejumlah faktor psikologis dan emosional seseorang akan mempengaruhi penggunaan obat dan respon terhadap obat. Sebagai contoh sikap seseorang terhadap obat dapat berakar dari pengalaman sebelumnya, motivasi untuk sembuh atau pengaruh keluarga (Potter dan Perry, 2005: 1000).
3) Faktor cara pemberian obat yang dapat mempengaruhi timbulnya efek samping obat yaitu: rute, waktu, dan durasi.
Rute pemberian obat peroral, injeksi, topikal, inhalasi dan lain-lain dapat memberikan perbedaan efek obat yang ditimbulkan. Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi dari suatu obat pada masing-masing rute pemberian (Potter dan Perry, 2005: 1019).
Sedangkan waktu dan durasi pemberian obat berkaitan dengan siklus sirkadian yang dihubungkan dengan kronobiologi, kronofarmakologi dan kronofarmakokinetika dari suatu obat (Potter dan Perry, 2005: 1019, http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008). Siklus sirkadian yang terdiri dari siklus siang (diurnal) dan siklus malam (nokturnal) adalah irama yang mempengaruhi perubahan fisik dan mental yang terjadi secara teratur setiap hari. Irama tersebut dikontrol oleh body,s biological clock yang terletak dan merupakan bagian dari otak yang disebut supra chiasmastic nucleus (SCN), yaitu bundle saraf (mengandung sepuluh ribuan sel saraf) yang berada di persilangan dua jaras saraf mata. Irama siklus sirkadian tersebut sampai saat ini diketahui berbeda-beda baik untuk keadaan tidur, terjaga, lapar, kepekaan terhadap obat dan seks (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008).
Syekh Yusuf al-Hajj Ahmad dalam buku Al Qur’an Kitab Sains dan Medis (2006: 125-127) menyebutkan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk merenungi hikmah pergantian siang dan malam seperti dalam surah Al Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat 190, Yunus ayat 67, Ar Ra’d ayat 3, Al Isra ayat 12, Al Mu’minun ayat 80, Al Furqan ayat 47, An Naml ayat 86, Ar Rum ayat 23, Al Mu’min ayat 61, Al Jatsiyah ayat 5, Al Muzammil ayat 7 dan 20, serta An Naba ayat 10 dan 11.
Berikut kutipan dari Surah Al Baqarah ayat 164 yang artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang , bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Lembaga Percetakan Al Qur’an Raja Fahd, 2002: 40).

d. Efek samping OAT
Penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping dan sebagian mengalami efek samping. Bagian Farmakologi FK UGM (2007: 4) menjelaskan bahwa efek samping OAT pada umumnya diklasifikasikan sebagai efek samping obat yang tidak berupa efek farmakologi utama.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 53-57) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan sifatnya efek samping OAT dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Efek samping minor yaitu efek samping yang hanya menyebabkan sedikit perasaan tidak enak. Gejala-gejalanya sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik, obat sederhana, dan atau pengaturan pola waktu menelan OAT. Dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan (lihat tabel 2.6)

Tabel 2.4 Efek Samping Minor OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Anoreksia, mual,
sakit perut Rifampisin Obat ditelan malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d
rasa terbakar di kaki Isoniasid (INH) Beri vitamin B6 (piridoksin)
100mg/hari
Warna kemerahan pada urine Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
perlu penjelasan kepadaPenderita


2) Efek samping mayor yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (lihat tabel 2.7)

Tabel 2.5 Efek Samping Mayor OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Beri antihistamin, OAT
diteruskan dengan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT pengawasan ketat.
Bila bertambah berat,
Hentikan pemberian OAT, rujuk ke UPK
perawatan.
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OATHentikan semua OAT sampai ikterus
hilang
Bingung dan muntah-muntah
(permulaan ikterus karena obat)Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan
tes fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin

Pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan dengan menjelaskan tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT di unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005: 53).
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis pada standar 11 menyebutkan bahwa rekaman tertulis tentang pengobatan, termasuk respon efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien (WHO, 2006: 3).
Efek samping yang dapat timbul maupun prinsif penatalaksanaan dari OAT FDC sama dengan OAT kombipak. Identifikasi efek samping OAT FDC meskipun telah diketahui komponen obat penyebabnya, dianggap sebagai efek samping dari kesatuan OAT FDC tersebut secara keseluruhan karena sediaannya sebagai obat kombinasi dalam satu tablet.
Pada kasus efek samping mayor, bila tidak dapat ditangani dengan pemberian obat simptomatis maka pemberian OAT FDC harus dihentikan. Penatalaksanaan menggunakan cara ”drug challenging” untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab efek samping, tidak dapat dilakukan seperti pada OAT yang bukan dalam bentuk kombinasi. Bila OAT FDC sebagai penyebab efek samping tidak dapat diberikan kembali, penderita diobati dengan OAT Kombipak (OAT non kombinasi) tanpa menyertakan obat yang menjadi penyebab efek samping tersebut.
Penatalaksanaan terhadap efek samping minor OAT adalah dengan pemberian obat simptomatis sesuai manifestasi klinis gejala efek samping yang timbul, namun hal tersebut harus dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif dengan dokter. Sebagai contoh, gejala efek samping minor OAT yang timbul berupa nyeri sendi dapat diberikan obat analgetik seperti aspirin atau parasetamol. Sedangkan keluhan gejala efek samping berupa kesemutan sampai rasa terbakar di kaki dapat diberikan pengobatan dengan piridoksin/vitamin B6 (Depkes RI, 2005: 55)
Penatalaksanaan keperawatan mandiri terhadap kasus efek samping minor OAT yang timbul dapat dilakukan dengan memodifikasi waktu menelan OAT pada malam hari sebelum tidur, sesuai dengan peran yang dapat dilakukan perawat pengelola program TBC seperti yang dipaparkan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2005: lampiran).
Jika memungkinkan OAT dianjurkan ditelan pada waktu setengah jam sebelum makan pagi. Efek samping utama jika obat diberikan setiap hari seperti OAT fase intensif adalah efek yang mengenai saluran gastro-intestinal seperti mual, hilang selera makan dan sakit perut ringan atau kadang-kadang timbul diare. Seringkali masalah tersebut dapat diatasi jika OAT diminum sebelum tidur malam (Crofton dan kawan-kawan, 2002: 186-187).
Metabolisme tubuh akan semakin meningkat secara signifikan pada siang hari seiring dengan aktifitas dan kegiatan yang dilakukan. Peningkatan metabolisme tubuh tersebut diikuti dengan peningkatan kerja saraf otonom yang membuat tubuh lebih peka terhadap stressor, sehingga stressor yang walaupun sifatnya ringan akan lebih dirasakan berat. Demikian pula halnya dengan keluhan efek samping obat, walaupun efek samping yang timbul hanya bersifat ringan atau keluhan efek samping yang seharusnya tidak muncul akan dapat dirasakan lebih berat atau dirasakan timbul dan mengganggu perasaan klien secara umum (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008).
Pada malam hari tubuh dalam keadaan istirahat yang merupakan kondisi kebalikan dari siang hari di mana metabolismenya juga akan mengalami penurunan. Metabolisme tubuh yang menurun akan mengurangi kepekaannya terhadap stressor, termasuk sensitivitas perasaan terhadap keluhan efek samping obat yang timbul (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008).
e. Penatalaksanaan keperawatan terhadap efek samping OAT
Intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif dalam pemberian terapi OAT salah satunya adalah memberikan tindakan penanganan terhadap efek samping yang timbul. Uraian tugas pengelola program TBC di Unit Pelayanan Kesehatan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: lampiran) menyebutkan bahwa perawat diberikan kewenangan untuk memberikan intervensi keperawatan dalam penatalaksaanaan efek samping OAT sesuai protap yang telah ditentukan.
Masalah keperawatan pada penderita TBC yang berkaitan dengan efek samping OAT di antaranya adalah: Kurang pengetahuan tentang pengobatan berhubungan dengan: interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif (http//iwansain.files.wordpress.com, diakses 12 April 2008).
Intervensi terhadap masalah keperawatan: Kurang pengetahuan tentang efek samping OAT adalah:
• Memberikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan.
Rasionalisasi: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
• Menjelaskan efek samping obat dan penatalaksanaannya.
Rasionalisasi: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi, mencegah keraguan terhadap pengobatan, mencegah mangkir berobat dan meningkatkan keberhasilan pengobatan.
• Mengubah waktu menelan OAT.
Rasionalisasi: Meminimalisir timbulnya efek samping yang mungkin dipengaruhi oleh waktu minum OAT.
(http//iwansain.files.wordpress.com, diakses 12 April 2008 dan Depkes RI, 2005: 55).

Sumber :
H.Nor Efendi. 2008. Hubungan Waktu Menelan Obat Antituberkulosis Fixed Dose Combination (OAT FDC) Kategori 1 dengan Timbulnya Efek Samping Mino (Studi di Kabupaten Hulu Sungai Utara). Skripsi, Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...